Minggu, 02 Agustus 2009

RECORD PRODUKSI & QUALITY PRODUK



Orang manufacture terutama dengan spealisasi produksi pasti sangat memahami arti hal diatas. Ada konsep dasar yang ingin saya kemukakan, untuk detailnya saya akan bahas di artikel berikutnya.

“ Sistem “ merupakan kata yang sering kita dengar, definisinya kurang lebih sebagai berikut. Sekumpulan resources atau elemen ( dalam manufacture bias berupa Mesin, SDM ) yang bersinergi dengan menggunakan mekanisme, metode kerja, atau prosedure tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Luar kepala biasanya kita beranggapan Pencapaian Record Produksi & Quality ditentukan oleh system.

Saya tidak sepenuhnya setuju dengan konsep ini. Kita akan bahas satu persatu.


Pertama Record Produksi. Untuk case ini benar system memegang peranan utama, saya sangat setuju. Elemen-elemen Manusia, Mesin, Material, Metode kerja, Lingkungan memegang peranan yang sangat penting. Performance mesin kita kendalikan dengan Total Preventive Maintenance, Total Productive Maintenance, atauRe-engineering. Kinerja Orang/ Manusia kita kendalikan dengan HRM (Human Resources Management) dimana didalamnya ada Mekanisme Penilaian, Penggajian, Career development, Trainning & Development, Hubungan Ketenagakerjaan, dll . Metode-metode kerja kita sangat terbantu dengan adanya Ilmu Statistik & Work Study. Lingkungan & Safety ada yang namanya 5S/ 5R, P2K3, OHSAS, ISO 14000. Dan masih banyak Tool-tool yang bisa diterapkan & di-improve, seperti visual control , Sistem Planning, Purchase, Storage & Real Time Process yang terintegrasi dalam satu software, sehingga dapat mempercepat akses informasi hingga dalam hitungan detik.
Level penerapan system-sistem diatas tidak terlepas dari kekuatan financial perusahaan. Contoh sederhana, misalnya untuk menerapkan Total Preventive Maintenance pasti harus ada budget mulai dari Trainning hingga Recruitment Personel yang Competen jika perusahaan masih belum memilikinya. Semuanya ada cost-nya. Baik langsung maupun tidak langsung, seperti waktu training operator dalam 2 jam, identik dengan pengurangan hasil produksi ybs selama 2 jam, jika kita pertahankan record tentu operasionalnya memerlukan orang dari posisi lain dengan mekanisme overtime … biaya–biaya juga kan?

Kedua Quality Produk. Ada beberapa Sistem Kendali Quality yang kita kenal, misal ISO 9001, Total Quality Management ( TQM ), Quality Control Circle ( QCC ), 6s , dan lain-lain.
Ada beberapa perusahaan yang menerapkan system quality yang tampak luarnya beda tapi objectivenya sama, yaitu meningkatkan quality produk. Kondisi ini berpotensi terjadinya tumpang tindih & membingungkan, efeknya Trust pada Sistem akan melemah, indikatornya sangat mudah, yaitu inkonsistensi dalam implementasi.

Meski belum ada data pendukung yang kuat, saya coba analisa kondisi ini, lebih aneh lagi, penyakit ini tidak hanya terjadi di perusahaan level bottom ( employe under 300 ) tapi juga perusahaan dengan jumlah karyawan > 10.000, tentunya dengan kadar yang berbeda. Local Company, PMA Korea, bahkan PMA Japan-pun kesulitan dalam optimalisasi penerapkan Sistem Quality di Indonesia, padahal di Negeri asalnya tidak ada masalah.

Apakah kondisi in depend on Sistem ? Sekali lagi ini baru Hipotesa saya, dan memerlukan pembuktian statistik tentunya untuk menerima atau menolak. Sistem tidak memegang peranan utama !
Paling utamanya yaitu Company Culture atau Budaya Perusahaan.
Berbeda dengan kendali Record produksi yang lebih bersifat Top Down. Konsep quality sangat berhubungan dengan mind set/pola pikir, yang sifatnya sangat personal & tidak bisa digeneralisir. Bisakah anda mengukur dengan tingkat akurasi tinggi, komitment employe terhadap quality ? atau Rasa Tanggung jawab terhadap quality produk ? Sejauh saya tahu sangat sulit. Validitas & Biasnya terlalu besar karena ini qualitative.

Dalam acara Pembukaan Hari ulang Tahun ke-25 Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), 20 Oktober 2007, Presiden Komisaris PT. Kompas Gramedia Jakob Oetama menyatakan “ … Bagi saya kita lemah dalam memelihara, kita lemah dalam hal detail, kurang cek dan ricek, kurang tekun.”

Sedangkan Koentjaraningrat dalam bukunya “ Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan “ menamakan budaya dengan istilah yang lebih tegas, yaitu Sistem Nilai-Budaya.
Suatu Sistem nilai – Budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu suatu system nilai-budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. ( hal. 25 )

Waktu saya Trainning Ke Manufacture di Japan, segala aktivitas yang terkait dengan kendali quality sangat berbeda jika dibandingkan dengan di Indonesia. Kita masih disibukkan dengan perkara-perkara yang sifatnya formil dan tidak lepas dari banyaknya dokumen-dokumen bawaan yang bertujuan untuk bukti kalau aktivitas ini sudah dilaksanakan … meminjam istilah boss saya MenShow-Ship, hanya untuk pertunjukan !
Sibuk sesaat waktu ada pengecekan.

Sedang di Jepang semua berjalan begitu smooth, tidak ada bedanya kondisi ada pengecekan atau tidak ada atau istilah kerennya tidak dibuat-buat. Dengan berbekal Statistik’s Tools sederhana ( Check Sheet, Histogram, Pareto ) sudah sangat cukup untuk melakukan aktivitas PDCA. Hasilnya sangat optimal, mulai dari Improvement metode operasi, Software, hingga Modifikasi Mesin.

Melihat kembali apa yang disampaikan 2 budayawan kita diatas, problem kita bukan di Sistem, menerapkan Statistik yang paling sederhana-pun kita pontang panting, mulai dari salah data, salah entry, salah sampling, salah hitung, sampai salah Preventive & Corrective actionnya. Yang harus dilakukan oleh management yaitu membentuk apa yang Koentjaraningrat sebut “ Sistem Nilai-Budaya “. Apapun latar belakang adat istiadat, norma, kebiasaan setiap employe, saat masuk kedalam lingkungan perusahaan, harus menyesuaikan dengan nilai-nilai yang diinginkan perusahaan. Beberapa diantaranya disampaikan oleh Jakob Oetama.

Jika setiap orang diperusahaan memahami ini, Sistem Quality apapun yang diterapkan akan optimal hasilnya.

Bahan Diskusi :
Optimalkah hasilnya, jika perusahaan ingin meningkatkan tingkat quality produk level tertinggi, dengan menerapkan Six Sigma & merekrut orang-orang dengan sertifikasi Black Belt. Sedang kondisi perusahaan saat ini, tingkat absensi & turn over karyawan tinggi.