Jumat, 30 Januari 2009

A Way to Increase Production Performance


PRODUKTIVITAS

Didalam bukunya “ Understanding Productivity ”, Joseph M Putti, mendefinisikan produktivitas sebagai tingkat perbandingan antara besarnya keluaran dengan besarnya masukan .
hubungan ini digambarkan dengan persamaan berikut :
Produktivitas = Output : Input
Contoh :
Input = Jumlah jam kerja yang tersedia = 20 orang x 5 hari x 8 jam/hari = 800 jam
Output = 8000 unit mainan
Produktivitas = 8000 / 800 = 10 unit mainan / jam

Disamping tenaga kerja, input yang lain dapat berupa modal (uang) dan bahan baku.

Jika dilihat dari persamaan diatas, mengendalikan produktivitas terlihat begitu mudah . Hanya ada 2 variabel yang mempengaruhi, pertama Input dan kedua Output.
Tapi dalam kenyataan tidak semudah hitungan matematisnya.

Banyak upaya dan strategi yang kita lakukan untuk mencapaianya, mengikuti trainning, seminar, sampai literatur-literatur mengenai lean manufacturing hampir memenuhi rak buku, tapi hasil masih tidak sesuai harapan.

Mr. OGAWA

Namanya Ogawa, saya biasa panggil Ogawa San, kurang lebih sampai tahun 2003 dia menjadi Technical Advisor diperusahaan tempat saya bekerja. Tahun 2006 saya mengikuti program Trainning ke Jepang, kebetulan satu departemen dengan Ogawa, dari banyak diskusi dengannya saya mendapat sebuah pelajaran yang sangat sangat berharga. Menurut dia, meskipun berada dalam satu grup, konsep produksi antara perusahaan di Jepang dengan di Indonesia berbeda. Di Jepang tidak diperlukan adanya kepala produksi yang pintar, karena sistem produksinya lebih menitik beratkan pada kemajuan teknologi , Sebaliknya di Indonesia, sistem lebih menitik beratkan pada faktor manusia, tidak berlebihan jika saya katakan kepala-kepala produksi di Indonesia, terutama dilevel Supervisor lebih pintar dari pada disana, karena ini memang kebutuhan & faktor lain, sistem produksi di Indonesia sangat membutuhkan orang-orang yang pintar sebagai penyeimbang dari lemahnya aplikasi teknologi modern. Faktor modal, tenaga kerja yang berlimpah “ dengan harga sedikit lebih murah”, konsep padat karya-nya “ Eyang Soeharo “ yang mau tidak mau Investasi di Indonesia harus bisa menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya, yang justru membuat investor berpirkir dua kali untuk mendirikan pabrik padat teknologi. ( Saya tidak tahu ini benar atau salah, tapi jika dipikir lebih jauh, contohnya PT. Gudang Garam, jika memutuskan menggunakan mesin automatis dalam proses produksi rokok kretek-nya, tidak terbayang berapa jumlah pengangguran )

Kembali ke cerita saya diatas, kondisi yang Ogawa ceritakan ini benar. Saya bandingkan skill dan knowledge level supervisor disana masih satu level dibawah orang-orang kita. ( tapi anehnya, kalau dikirim ke Indonesia, secara struktural mereka ini bisa berada sampai dua level diatas kita ). Situasi ini juga bisa disebabkan oleh orientasi orang Jepang dalam bekerja yaitu hasil dan loyalitas, Jenjang karir di Jepang pada umumnya lebih berdasar pada masa kerja atau senioritas, jadi jarang terlihat orang – orang muda yang karirnya melesat bak meteor, terutama di bagian Produksi. Bahkan dibeberapa section, Kepala shift juga merangkap sebagai petugas maintenance. Ini bisa terjadi karena penerapan teknologi memiliki tujuan yang jelas, proses lebih cepat, safe, dan mudah memudahkan dalam kontrol. Seperti contohnya, Sistem Informasi global yang terintegrasi, Sistem Alokasi Order yang sangat detail, mesin-mesin produksi keluaran terbaru dan lebih “ easy using “, dan kinerja mesin-mesin ini bisa dimonitor dari ruang Ka. Seksi, Sistem pengendalian mutu yang sangat baik ( bahkan seperti menjadi bagian dari budaya ), Sistem Suplay material dan Sistem pengiriman barang jadi ke Gudang menggunakan robot, dan masih banyak lagi … yang membuat saya seperti berada diplanet lain. Dengan mengedapankan teknologi dalam sistem, secara tidak langsung faktor manusia menjadi bukan faktor terpenting.
Ogawa bilang untuk mendesign sistem seperti ini, ada bagian yang mendampingi produksi semacam subdivisi dari produksi , yang bertugas menganalisa dan Improvement sistem produksi dan engineering. Nama bagian ini “Technical” ( semacam R&D ), isinya orang-orang yang punya skill, knowledge, dan pendidikan diatas rata-rata. Bagian “Technical” inilah yang mensuport dan secara tidak langsung berperan besar dalam mendesign produksi.

Bagaimana dengan manufacturing kita? Tidak jarang ungkapan “ Men Behind Gun “ menjadi pembenaran untuk menutupi keterbatasan investasi dibidang teknologi, dengan kata lain “yang terpenting itu orangnya“, meskipun kita juga ada R&D, support untuk proses produksi belum benar-benar terasa, dibeberapa perusahaan, saya jumpai lingkup kerja R&D masih terbatas, misal design dan re-design, menguji spec produk baru, menguji material baru, atau melakukan Work Study skala terbatas . Berbeda dengan di Jepang, lantai produksi manufacturing Indonesia begitu banyak “ orang-orang pintar “ yang bertebaran, tetapi prosentase orang pintar ini tidak begitu saja berbanding lurus dengan peningkatan produktivitas. Kadang kita menemui perusahaan manufacture yang berdiri lebih dari 15 tahun, dilihat dari sisi penguasaan pasar, kok perkembangannya masih begitu-begitu saja .
Dalam hati saya setuju dengan pendapat Ogawa San ( tapi sengaja tidak saya utarakan …gengsi donk ), dengan berfokus pada pengembangan teknologi, otomatis akan diikuti oleh peningkatan kinerja bagian produksi.

MENINGKATKAN KINERJA PRODUKSI

Di artikel yang sudah saya posting, mengenai sejarah perkembangan management produksi dan operasi. Awal mula industrialisasi dunia berawal dari penemuan mesin-mesin bertenaga uap, mesin-mesin tekstil, yang mendorong terjadinya Revolusi Industri di Inggris.
Kuncinya … mesin…teknologi
Kinerja produksi akan baik jika didukung oleh mesin-mesin yang dalam kondisi terbaik.

Jangan membayangkan teknologi yang saya maksud ini, seperti aplikasi teknologi di Jepang, teknologi yang saya maksud yaitu teknologi yang identik dengan teknologi mesin.
Dengan kata lain, kita memudahkan aktivitas produksi, menjamin quality, dan meningkatkan produktivitas dengan mengoptimalkan jaminan kinerja mesin-mesin produksi. Optimalisasi kinerja mesin tentunya harus didukung oleh struktur engineering yang kuat, termasuk didalamnya SDM yang berkualitas, dan penerapan management pemeliharaan yang baik . Sistem seperti ini sudah sangat mencukupi untuk mempertahankan tingkat produktivitas ( stabilitas ) jika menginginkan peningkatan, tinggal tambah sub divisi engineering yang terdiri dari orang-orang multi skill ( elektrik, mekanik, instrumentasi ) memiliki pengetahuan statistik, dan analitical thinking yang tajam dan memiliki visi, apapun nama dari sub divisi ini, entah itu “ Development “ atau “ Improvement “ atau “ Technical “, yang penting, tugas pokoknya : menggali informasi-informasi mengenai kinerja mesin dan orang, menganalisa, dan merekomendasikan usulan – usulan perbaikan mengenai metode kerja dan modifikasi mesin untuk peningkatan efisiensi, dll.

Idealnya Produksi dan engineering ini berada didalam satu rumah dimana secara defacto engineering berada sedikit diatas produksi. Jauh lebih baik Kepala bagian Engineering juga membawahi bagian Produksi.
Jika anda ingin menerapkan Total Productive Maintenance ( bagian produksi/operator dilibatkan dalam aktivitas perawatan dan perbaikan yang terkendali ) , Sistem yang saya sampaikan diatas akan memberi dasar yang sangat kuat.

Ditingkat Section, Th. 2006-2008 saya menerapkan sistem seperti ini, hasilnya melebihi ekspektasi saya, disamping tidak lagi memerlukan kepala shift secara struktural ( karena kontrol menjadi lebih mudah ), kinerja mesin menjadi stabil, down time mesin sangat rendah, efeknya meski kondisi order high seasion, personel-personel dibagian engineering memiliki banyak waktu luang untuk analisa dan improvement, hasilnya: Produktivitas mesin tinggi, aktivitas modifikasi mesin untuk meningkatkan efisiensi, re-design metode-metode kerja diproduksi, hingga rancang bangun mesin untuk mempermudah proses.

Ditingkat Departemen, mulai awal tahun ini saya dalam tahap membangun sistem. Dengan konsep yang sama tentunya, yaitu meningkatkan produktivitas melalui engineering.

Mudah – mudahan ini semua bermanfaat … Good Luck

Senin, 26 Januari 2009

Papan Informasi yang Berhasil


Dalam artikel berikut saya akan mengangkat topik mengenai salah satu bentuk Visual Control dalam manufacture. Atau anda pernah mendengar mengenai “Glass Wall Management “ , definisi bebasnya kurang lebih sebagai berikut, Teknik Pengendalian produksi yang mengutamakan transparansi data yang menunjukkan level pencapaian target organisasi dalam periode tertentu.

Saya menyebutnya sebagai PAPAN INFORMASI atau Information Board .
Papan Informasi ini bisa berisi, antara lain ;
1. Record produksi mesin
2. Record produksi operator
3. History of Critical Spare Part’s Replacement ( Data penggantian Spare part kritis)
4. History Preventive maintenance ( Inspection, Lubrication, Overhoul )
5. Quality Performance ( Claim, Product Reject )
6. Patroli Finding ( Patroly 5R, K3, ISO Sistem, dll )
7. Achievment of Delivery
8. Achievement of Lead Time
9. Informasi kecelakaan kerja

Tentunya masing-masing perusahaan memiliki objective yang berbeda-beda, saya yakin masih banyak objective-objective selain sembilan hal yang saya sebut diatas. Dengan adanya Papan Informasi ini, implementasi konsep PDCA sebagai budaya kerja organisasi akan semakin optimal. Dengan syarat, Papan Informasi ini berhasil.



PAPAN INFORMASI YANG BERHASIL

Saya pernah menjumpai Papan Informasi di suatu lantai produksi disebuah perusahaan, saya sebut saya Perusahaan A. Secara Artistik, Papan Informasi ini didesain begitu baik. Objective beserta Achievment tergambar melalui grafik-grafik dengan menggunakan kertas A3 full color. lokasinya dipinggir jalur jalan utama yang biasa dilewati oleh tamu. Kebetulan data yang terpampang periodenya monthly/bulanan.
Dari beberapa sumber ( Operator, Ka. Regu, Ka.Shift, Ka. Seksi ) menyatakan tidak mendapat manfaat berarti, dari data –data ini. Sebelum membahas erlalu jauh, bukan seperti ini Papan Informasi yang saya maksud. Informasi – informasi ini lebih berupa gambaran ( deskriptif ) umum mengenai kinerja yang cenderung digunakan untuk orang diluar organisasi.

Papan Informasi dikatakan berhasil jika data–data yang ada didalamnya benar–benar dibutuhkan oleh pelaksana ( Operator, Worker, Petugas Perbaikan ) dan controler ( Supervisor, manager ) untuk mengukur kinerja baik secara individu maupun sebagai tim kerja. Saya menggunakan kata “ dibutuhkan”, yang berarti kedudukan data –data ini setara dengan mesin itu sendiri.

Sebagi orang manufacture, kita biasa mengenal 5 Faktor produksi, yaitu : manusia, metode, mesin,material, lingkungan. Namun dari pengalaman, belum cukup jika kontrol kita hanya didasarkan pada 5 faktor ini. Satu faktor lagi yang saya anggap sangat penting, yaitu “ Faktor Informasi “ .

Begitu pentingnya peranan Papan Informasi sebagai bagian dari sistem inforamsi perusahaan, sampai saya berfikir , diperlukan stategi dalam implementasinya.
Perhatikan gambar berikut.





Untuk memperbesar tingkat keberhasilannya, ada 3 Elemen dan 4 Aktivitas dalam strategi implementasi Papan Informasi ini.
Pertama, 3 elemen dalam implementasi :
1. Pelaksana ( Operator, Worker, Petugas Perbaikan ) yang berperan sebagai pemberi data ( input )
2. Papan Informasi / Board, yang formatnya didesain begitu rupa agar dapat menggambarkan dengan jelas mengenai objective, dan pencapaian secara individu ( Record Produksi Mesin ) maupun secara Tim ( data Delivery, lead Time, Patroly Finding, Info Kecelakaan kerja, Criticl Spare Part Replacement, dll ) .
3. Controler ( Supervisor, Chief ), yang menggunakan informasi-informasi ini sebagai dasar untuk indikator, analisa peformance, dan evaluasi performance baik secara individu maupun Tim. Beberapa perusahaan menggunakan achievement ini sebagai dasar penilaian yang terkait dengan prestasi dan sistem penggajian. (Management By Objective ).

Kedua, 4 aktivitas dalam implementasi :
1. INPUT, yaitu aktivitas suplay data dengan format / design yang telah ditentukan
2. MONITOR, yaitu aktivitas yang dilakukan oleh pelaksana ( operasional ) untuk mengetahui sejauh mana pencapaian kerjanya, sesuai tingkatan periode pengumpulan data, misal untuk monitoring record produksi ada yang berupa , pertama, Daily Record ( Sebenarnya masing-masing operator sudah mengetahui berapa target dan pencapaian kerjanya, difase ini melihat papan lebih dimaksudkan melihat pencapaian orang lain yang digunakan sebagai bahan perbandingan ), kedua, Weekly Record ( Digunakan untuk melihat accumulasi pencapaian selama seminggu, lalu merencanakan apa yang harus dilakukan minggu depan ), ketiga, Monthly Record ( digunakan untuk melihat hasil akhir selama sebulan, biasanya pencapaian perbulan inilah yang digunakan sebagai dasar penilaian dan evaluasi oleh Controler )
3. APPRAISE, yaitu aktivitas yang dilakukan oleh controler/Chief ( Supervisor, Manager ) untuk memperoleh informasi mengenai performace individu maupun tim. Data-data yang diperoleh digunakan sebagai bahan evaluasi, atau dasar penilaian kinerja yang berhubungan dengan penilaian prestasi dan sistem penggajian.
4. EVALUATE, yaitu aktivitas dua arah, antara pelaksana dan controller. Controller melakukan evaluasi hasil kerja, sedangkan pelaksana memberikan feedback . Evaluasi dan Feed back merupakan tahapan yang vital yang justru sering terlewatkan. Terutama untuk merencanakan strategi kerja individu dan organisasi diwaktu yang akan datang.

Jika keempat aktivitas ini dilaksanakan, saya sangat yakin keberadaan papan informasi ini akan menjadi semacam kebutuhan, jika aktivitas input dilakukan sendiri oleh bagian operasional / pelaksana. Sistem ini akan membentuk sebuah Close Loop ( Siklus Tertutup), sebagaimana kita tahu, apapun sistemnya jika membentuk sebuah close loop, akan variabel-variabel yang mempengaruhi lebih terbatas dan terkendali, sehingga selama tidak ada faktor eksternal yang sifatnya ekstrem, sistem akan berjalan dengan sendirinya.

manufacture

Selasa, 20 Januari 2009

Fear Management




“ ... Hampir empat kali enam puluh menit lamanya saya telah berdiri tegak, terjepit, tertopang oleh lautan manusia. Akan terbalaskah jerih payah saya ? Tetapi sekonyong-konyong berkumandang di luar tiupan beratur-ratus selompret. Lampu listrik dalam ruangan rapat padam dengan serentak, sedangkan dari atas menyorot beberapa biasancahaya kearah sebuah pintu yang sama tinggi letaknya dengan serambi tempat duduk dibawah sekali. Sebuah lampu sorot menyinari seorang laki-laki kecil, berpakaian coklat, kepala buka dan wajah tersenyum berseri-seri . Empat puluh ribu orang, empat puluh ribu tangan bangkit dengan serentak. Orang kecil tadi maju lambat – lambat sambil memberi salam dengan melambaikan tangannya perlahan-lahan seperti seorang uskup disambut oleh hadirin dengan seruan yang gemuruh dan berirama ; Heil Hitler! Sekarang saya dengar tak lain daripada sorak sorai orang-orang yang berdiri dekat saya, diiringi bunyi tepuk tangan yang memecahkan anak telinga.
Sambil melangkah lambat-lambat dan menyambut penghormatan yang diberikan kepadanya oleh para hadirin, berjalan ia selangkah demi selangkah, melalui sebuah jembatan kecil kearah mimbar yang sengaja disediakan untuknya. Perjalanan ke tempat duduknya memakan waktu lama sekali, tak kurang dari enam menit. ……Mereka berteriak bersama-sama secara berirama dan mengarahkan mata ke titik cahaya, kepada wajah yang tersenyum berseri-seri itu. Maka bercucuranlah air mata orang-orang itu dalam gelap. Sekonyong-konyong diam ( tetapi diluar kembali bergemuruh suara lautan manusia ). Laki –laki kecil telah menjulurkan tangannya kedepan sebagai suatu isyarat yang tegas, ia menengadah kelangit – dan dari serambi bawah berkumandang ke angkasa lagu “ Horst Wessel “
Barulah saya mengerti. Hal ini tak dapat lagi dipahami jika tidak disertai perasaan ngeri dan denyutan jantung yang berdebar, sedangkan alam pikiran masih tetap sadar. Perasaan saya pada ketika itu ialah apa yang dinamakan orang kekaguman yang mempesona …”
Denis de Rougemont dalam bukunya Journal de Allemange

Ini salah satu bentuk sugesti massa,

yang menekankan rangsangan-rangsangan emosional dengan mengurangi kemampuan berpikir. Terlepas dari peranan ahli propagandanya, yaitu Dr. Goebbels, sepak terjang Hitler dan kekejamannya melampaui batas berpikir dimasa itu (Genosida dan Invasi ke Inggris dan Rusia) telah menjadikannya sosok yang sangat menakutkan sekaligus berkharisma dan mengagumkan.


Kembali ke kondisi manufature kita saat ini .....
Sebagai leader, mulai dari Grup Leader, Supervisor, Manager , dari kepala ditingkat bawah sampai atas, pernahkah anda melihat atau bahkan mengalami hal-hal seperti berikut ;
Anda merasa tidak mendapat respect dari bawahan, instruksi yang tidak dijalankan, bawahan apriori terhadap anda
Pokoknya anda seperti kehilangan kendali atas bawahan.
Anda tidak merasa atau tidak pernah menemui seperti yang diatas ? OK, saya beri contoh lain, misal : segala bentuk inkonsistensi pelaksanaan prosedur kerja, tidak peduli pada quality, produktivitas kerja saat over Time selalu lebih tinggi dibanding jam kerja biasa, bawahan yang bisa lebih galak dari anda sebagai atasan, tidak menghargai jam kerja, dan lain-lain . Mau dibilang seperti apa, intinya sama, ini pertanda anda mulai kehilangan kendali.


Apakah anda mulai melihat titik temu antara cerita saya, dengan “cerita” Denis de Rougemont ? sekedar mengingatkan, baca kutipan berikut.
“ Perasaan ngeri dan denyutan jantung yang berdebar sedangkan alam pikiran masih tetap sadar … kekaguman yang mempesona “ .
Bagaimana jika perasaan seperti ini, kita explore, untuk dapat mengendalikan orang-orang disekitar atau bwahan kita .




Fear Management …. barangkali anda baru dengar istilah ini. Artinya, Seni mengendalikan orang lain dengan memberikan rasa takut “ .
Apakah rasa takut itu ? Dalam bukunya “ Trading Zone “ Mark Douglas mengatakan rasa takut adalah sebagai “ Sebuah emosi yang kuat yang disebabkan oleh antisipasi dari adanya bahaya, hal tersebut menimbulkan rasa gelisah dan kehilangan keberanian”.
Saat anda merasa takut, reaksi psikologis anda sesungguhnya membantu memobilisasi tubuh anda untuk bereaksi terhadap bahaya itu. Oleh karena itu, bila anda melihat seekor anjing galak, anda akan berlari sekuat tenaga untuk menyelamatkan diri agar tidak digigit. Atau karena kengerian membayangkan Big Boss marah, laporan kerja yang biasanya rampung seminggu, selesai dalam semalam. Hal – hal yang sulit dilakukan dikondisi normal, justru menjadi begitu mudah saat kita berada dibawah tekanan “ rasa takut “. Rasa takut bukan merupakan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan namun keduanya bernilai, bermanfaat, dan adaptif bagi kehidupan manusia .
Fear Management tidak berarti menggunakan legalitas sebagai kepala/leader untuk menyebarkan rasa takut dengan ancaman, teror yang menempatkannya sebagai subyek dan bawahan sebagai obyek. Misal Manager yang hobinya marah-marah ( padahal nggak ada alasan untuk marah ), Supervisor yang kelakuannya seperti “preman pasar” dikit-dikit ngancam inilah … itulah.
Fear Management yang saya maksud lebih ke “strategi “ mengendalikan aktivitas bawahan, bukan mengandalkan pikiran / intelegensi mereka, tapi lebih melalui emosi, dengan memanfaatkan segala sesuatu yang terjadi yang memiliki dampak yang sangat tidak diharapkan pada setiap individu.

Seperti pada 4 contoh kasus berikut :
1. Kebijakan pemotongan gaji, yang betujuan agar perusahaan tetap bertahan dan menghindari opsi pemutusan hubungan kerja .
2. Memberikan ilustrasi dengan gambar atau video mengenai kecelakaan-kecelakaan kerja yang “ mengerikan” , saat implementasi sistem K3 pada karyawan.
3. Memberikan sanksi tegas untuk semua jenis pelanggaran dan bagi siapapun yang melanggar, dengan mengilustrasikannya sebagai “kanker” yang bisa merusak seluruh sistem, dan anda sebagai dokternya. Situasi ini akan menempatkan si pelanggar seperti nila dalam susu. Perasaan takut tidak diterima oleh kelompok akan mengakibatkan hilangnya keberanian untuk melakukan pelanggaran (dengan sengaja). Penerapan dengan konsisten dapat merangsang munculnya budaya tertib dan disiplin secara kolektiv.
4. Kebijakan Grade Down ( turunnya level ) untuk merangsang kinerja positif karyawan. Efek dari Grade Down ini yaitu malu. Supaya tidak malu, karyawan akan bekerja keras untuk meningkatkan skill dan knowledge agar teap bisa bersaing. Misal peningkatan terhadap penguasaan komputer, pemahaman sistem, peningkatan teknik & metode perbaikan, dll .


Menerapkannya tdiak terlalu sulit, cukup ikuti langkah –langkah berikut :
1. Sampaikan inti dan latar belakang permasalahannya (dengan serius)
2. Jelaskan segala dampaknya, baik untuk kolektiv maupun individu
3. Jika terkait dengan sistem kerja ( prosedure, methode ) buat mekanisme punishment-nya ( sanksi )
4. Lakukan langkah ke-3 jika terjadi pelanggaran prosedure / methode kerja , tidak terkecuali pada anda sendiri.


Faktor lingkungan, tingkat pendidikan, dan budaya yang tidak siap memasuki era industri. Membuat pekerja kita resisten, dan masih menganggap aneh sistem-sistem yang mengutamakan metodologi ilmiah ( Scientific management ). Sehingga tidak heran jika penerapan ISO, OHSAS, K3, SigSigma, GKM, QCC, 5R, TPM, dan sistem-sistem lain hanya bermain dipermukaan .
Kenapa tidak coba terapkan Fear Management untuk jalankan sistem-sistem seperti diatas. Dari pengalaman, pekerja – pekerja kita (terutama di level bawah) sebagian besar cenderung mengedepankan emosi (perasaan) dari pada kekuatan pikiran. Dengan kata lain, lebih melihat sesuatu dari sisi “enak“ atau “nggak enak” bukannya “ tepat” atau “tidak tepat” .

manufacture