Miris kalau saya baca berita-berita di media mengenai konflik ini, secara politis aspirasi golongan pekerja ini memang tidak significant, beberapa periode pemilu beberapa partai mengatas namakan kaum pekerja bisa saya katakan tenggelam di antara pemain lama. Anda ingin tau kenapa ? jawabannya bahwa sektor ekonomi formal hanya menarik 30% angkatan kerja, dan 70% bekerja di sektor informal ( Bird dan Suharyadi, 2002; Basri, 2008 ), bahkan dari total 30% pun itu belum secara utuh masuk ke dalam satu wadah partai. Bukan rahasia lagi, UU No.21 tahun 2000 tentang Kebebasan berserikat di Indonesia, selain menjadi anugerah, undang-undang ini menjadi bencana karena buruh terpecah-pecah dalam berbagai serikat yang tentu saja akan menyulitkan saat menkonsolidasikan kekuatan.
Namun, terlepas dari makna politik perwakilan di legeslatif, terbukti kekuatan buruh mampu menjadi kekuatan besar “parlemen jalanan”.
Kembali ke kata “ miris “ tadi , mulai akhir 2011 hingga awal tahun ini, tidak henti-hentinya aksi-aksi demo buruh dengan issue utama seputar penetapan nilai Upah Minimum Kabupaten/Kota ( UMK ). Kenapa saya katakan miris, kekuatan besar parlemen jalanan ini selalu muncul menjelang akhir hingga awal tahun. Hampir setiap tahun kita melihat ini. Perjuangan mereka untuk mendapatkan kenaikan nilai upah minimum mulai dari 100 hingga 300 ribu-an bagaimanapun efek sampingnya sepenuhnya saya hargai. Memasuki dunia kerja 14 tahun yang lalu, saya mulai dari lini terbawah, pengalaman dalam berinteraksi sosial dengan banyak keluarga dikalangan buruh di Tangerang, membuat gambaran nyata kehidupan mereka. Sampai saat inipun saya masih belum mengerti dengan Gaji take home pay 1,5 juta-an dari seorang laki-laki kepala keluarga dapat membiayai keluarga kecil yang terdiri dari seorang isteri dan 2 orang anak, terutama dalam konteks pemenuhan akan kebutuhan dasar seperti perumahan, makan, kesehatan, dan pendidikan yang layak. Anda ingin bukti ? silahkan kunjungi kantong – kantong pemukiman pekerja di tangerang, mulai dari daerah Pasar kemis, Jatake, Sangiang, dll, belum kota – kota industri seperti Bekasi, Cilegon, Surabaya, dan banyak daerah lain. Di titik ini, saya sangat memahami alasan mereka, akhir-akhir ini turun ke jalan .
Ini adalah artikel yang tersulit yang pernah saya tulis, jalan keluar dari sudut pandang supra struktural/kebijakan negara hampir saya katakan “ impossible “, karena negara maju pun masih mengalami masalah ini. Ok, saya akan bahas singkat saja, dan jujur saya mual melihat benang kusut ini. Sejak REPELITA III, tahun 1979 – 1984 dst, pemerintah menekankan pembangunan pada bidang industri padat karya, bahasa kerennya pertumbuhan sektor riil untuk membuka lapangan kerja melalu penanaman modal asing, hingga sekarang. Pertumbuhan sektor industri menyebabkan migrasi besar – besaran dari daerah pedesaan ke kantong – kantong industri. Dari petani dan nelayan menjadi pekerja-pekerja pabrik, tentunya dengan kesiapan skill, knowledge, dan mentalitas yang ‘seadanya’. Saat – saat manis menjadi pekerja pabrik berangsur-angsur berubah . Sejak beberapa sektor sudah memasuki pasar bebas, management dengan susah payah mengendalikan keseimbangan keuangan perusahaan, tuntutan akan profit maksimal dengan biaya operasi minimal, membuat level manager hingga direktur keluar masuk ICU terkena serangan Stroke. Sialnya pemerintah juga mengakui bahwa inefisiensi dalam pelayanan publik, infrastruktur, regulasi menyebabkan perusahaan beroperasi dengan biaya relatif tinggi (baca link berikut: http://bataviase.co.id/node/239408 ). Tidak cukup disitu lho ya, faktor eksternal global mulai dari harga minyak dunia, masuknya produk impor murah, keamanan jalur distribusi internasional , dsb semakin menambah tekanan pada perusahaan. Kondisi yang tidak terprediksi dan tuntutan akan profit, terkadang memposisikan Management untuk melakukan strategi jangka pendek mengikuti periode laporan Neraca perusahaan setiap tahun. Di situasi seperti ini, semua elemen dalam Biaya Pokok produksi/ Cost of Good Sole menjadi perhatian utama, termasuk yang namanya Biaya Tenaga Kerja langsung. Inilah pos penggajian pekerja di lapangan atau jika boleh saya sebut dengan istilah buruh.
Saat pekerja menerima gaji bulanan dari pos yang saya sebutkan tadi. Mereka langsung berhadapan dengan kondisi pasar. Kita menganut sistem ekonomi pasar, sebagian besar harga komoditas ditentukan oleh pasar. Teori Suplay – Demand yang berlaku disini, dan perlu dicatat kita itu bangsa yang konsumtif, ibaratnya sistem ekonomi pasar yang liberal ini bak mendapat tempat yang tepat untuk berkembang biak. Dalam sistem ini Pemerintah tidak menetapkan harga standard, paling banter mengendalikan harga lewat operasi – operasi pasar. Meskipun Pak Hatta Rajasa menyebut dengan istilah ekonomi pasar berkeadilan, tetap saja ini ekonomi pasar. Lihat link ini http://www.jpnn.com/read/2012/01/24/115118/Hatta-Dorong-Ekonomi-Pasar-Berkeadilan-
Saya belum memahami dengan ide Pak Hatta, terutama mengenai definisi keadilan? Sering seperti ini, ungkapan – ungkapan pejabat publik kita kadang bersayap dan tidak jelas arahnya….
Cukuplah ngebahas bapak kita yang satu ini ya, kita kembali ke topik.
Nah disinilah masalahnya. Batas bawah pendapatan buruh yang coba dibatasi oleh nilai UMK dan lebih bersifat pada jaring pengaman sosial, dibeberapa case dirasa tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup layak ( KHL ) yang notabene dikendalikan oleh pasar tadi.
Nah disinilah masalahnya. Batas bawah pendapatan buruh yang coba dibatasi oleh nilai UMK dan lebih bersifat pada jaring pengaman sosial, dibeberapa case dirasa tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup layak ( KHL ) yang notabene dikendalikan oleh pasar tadi.
Lantas, cukupkah kondisi ini di selesaikan dengan retorika politis ? atau Pemerintah perlu minta bantuan pemuka-pemuka agama agar umat lebih ‘menerima’ hidup ini dengan penuh rasa syukur dan apa adanya ? atau pemerintah menyarankan 2 anak cukup lewat KB, untuk mengantisipasi ledakan populasi dan tingginya angkatan kerja ?
He..he..he... sudah saya bilang, Complicated kan ? Jadi saya ulangi jika kita mengharapkan jalan keluar melalui kebijakan pemerintah, itu impossible, karena kita sangat tergantung pada investor dan negara ini menganut sistem ekonomi pasar dalam penetapan sebagian besar harga komoditas. Jadi sekali lagi dalam konteks hubungan industrial pekerja – pengusaha, menurut saya sulit mengatakan pihak mana yang salah atau benar di kasus ini.
Mari kita berbicara solusinya, yaitu solusi manajerial internal perusahaan .
SOLUSI MANAJERIAL INTERNAL PERUSAHAAN
Jalan keluar dari sudut pandang supra struktural/makro/negara/kebijakan pemerintah sangat sulit diharapkan hasil yang optimal, hampir di semua periode kepemimpinan di Indonesia, kita mengalami kondisi ini. Saya melihat, dengan kembali ke perusahaan dan memperbaiki kondisi ini dari dalam, akan memberikan hasil yang efektif, lagi pula jika ini dilakukan oleh perusahaan-perusahaan lain, toh akan berefek makro juga kan, Cuma bedanya lebih bersifat Bottom-Up.
Hipotesa saya, Penyebab konflik industrial dikarenakan management perusahaan ( Manager dan Direksi ) menerapkan strategi management yang tidak tepat.
Ada 3 pilar utama dalam perusahaan, yaitu Marketing, Operation, dan Finance.
Laporan Keuangan perusahaan memberikan gambaran yang sangat jelas mengenai kinerja dan mendeteksi masalah dari ketiga fungsi utama ini.
Pertama Laporan Keuangan yang berasal dari laporan Rugi Laba / Income Statement . Laporan ini untuk mengetahui plus minus kegiatan operasional perusahaan, mulai dari nilai penjualan ( kinerja marketing ) , Harga pokok produksi ( kinerja operation ), dan biaya-biaya lain ( Kinerja Marketing, operation )
Kedua laporan Keuangan berdasarkan Laporan Neraca / Balance Sheet. Yang didapat dari laporan Neraca ini yaitu ; Baik buruknya pengelolaan asset, perbandingan modal kerja dan modal operasional dibandingkan dengan investasi, jumlah hutang, besar hasil pengelolaan modal kerja, dan jumlah kas sisa yang dimiliki ( Pramono, P.R, 2007, Membedah laporan Keuangan, PT. Gramedia, Jakarta, hal. 57 ).
Apapun pencapaian kinerja perusahan, management wajib mengkomunikasikan dengan tepat pada seluruh karyawan hingga karyawan memahami strategi perusahaan. Bukan berarti pencapaian profit yang tinggi, berdampak langsung pada naiknya besaran gaji. Jika share holder/pemilik saham, memutuskan untuk menjadikan profit sebagai modal, ini merupakan wewenang pemilik saham. Tentunya dasar pertimbangan seperti ekspansi, trendpasar, kondisi perekonomian, dll harus bisa dikomunikasikan tentunya dengan bahasa yang mudah dipahami. Jelas untuk menangani kondisi ini, perusahaan harus memiliki team yang terdiri dari orang-orang yang tidak memiliki masalah komunikasi.
Saya itu kadang berpikir, apa sih susahnya tetapin besaran batas gaji minimum diatas UMK ? tidak perlu menambah beban pada harga pokok produksi. Jika satu pekerjaan dikerjakan oleh 3 orang, pastikan bisa dikerjakan oleh 2 orang, reduce 1/3 atau 30 ~ 33 % . Dan gunakan surplus ini untuk mengelola struktur gaji batas bawah sampai 3 periode ( tahun ) kedepan atau sebagai buffer. Kira-kira 10% per periode ( jika inflasi rata – rata di 6 % ), aman bukan ? masalahnya, perusahaan harus menyediakan uang pesangon yang angkanya amit-amit besarnya, hitungan kasarnya 1/3 karyawan harus di PHK. Mau dibiayai pakai apa, hutang tidak mungkin, satu-satunya pembiayaan yaitu dari modal. Dengan mempertahankan orang –orang terbaik dengan diimbangi dengan pendapatan minimum jauh diatas standard, dari sudut pandang Human resources management, ini merupakan investasi ! Karyawan yang loyal dan berkomitmen tinggi menjadi intangible asset yang tidak ternilai harganya. Untuk periode setelahnya, perlu dipertimbangkan untuk Re-enginering atau upgrade teknologi ( Permesinan dan IT ) untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi.
Bagaimana dengan range kenaikan gaji untuk karyawan yang gajinya diatas standard minimum ? Jawabannya satu, kenaikan gaji berdasarkan performance / kinerja individu. Lihat artikel saya mengenai Management By Objective (MBO ). Sinkronisasi antara penilaian kinerja individu secara objective dengan mekanisme penggajian akan lebih mudah diterima dan memberikan feed back yang logis dan terukur untuk memberikan kesempatan di periode kedepannya.
Tidak mudah membuat korelasi antara peningkatan profit dan besaran kenaikan gaji. Bagian produksi yang merasa sudah maksimal ( dan diakui secara data ) menghasilkan volume tinggi dan quality yang baik, ternyata dijual dengan discount gila-gilaan oleh team sales. Ujung-ujungnya profit tidak maksimal. Ini contoh kecil saja. Tapi pada kenyataannya dalam industri terutama manufacture proses berlangsung secara sequence ( berurutan ) secara total, seluruh divisi bekerja dengan saling ketergantungan dan tidak independent. Tapi tetap saja, jika perusahaan mendapatkan profit yang baik, karyawan bisa merasakannya. Cara yang terbaik yaitu mekanisme pemberian Bonus ( diluar gaji ) jika target team tercapai. Penetapan target sifatnya sektoral untuk setiap section atau sub divisi dengan Balance score card ( BSC ) , Teorinya BSC ini digunakan untuk menampilkan kinerja di tingkat eksekutif, tapi kita bisa memodifikasi BSC ini untuk level Chief Section, dengan asumsi kinerja Chief Section harus disupport oleh semua elemen sesction itu sendiri.
Pendidikan mempengaruhi cara berpikir seseorang, berikan karyawan Trainning yang memberikan kontribusi nyata dalam hal tata kelola keuangan. Ada kalimat bijak, “ manusia itu tidak pernah merasa cukup “, kunci sebenarnya yaitu bagaimana cara mengatur uang, jadi berikan pelatihan-pelatihan bagi keluarga karyawan tentang bagimana cara mengelola keuangan dalam rumah tangga. Jauh lebih baik, jika perusahaan memberikan dorongan bagi pasangan karyawan untuk berwirausaha. Lho modalnya dari mana, Optimalkan peran Koperasi karyawan. Agar terpantau oleh perusahaan, masukkan tanggung jawab ini kedalam lingkup kerja GA ( General Affair ). Tentunya tidak hanya pelatihan diaspek keuangan, pelatihan bahasa, atau pelatihan praktis lainnya khusus bagi anggota keluarga karyawan akan meningkatkan ikatan emosional antara pekerja, pengusaha, dan perusahaan secara keseluruhan. Bagaimana dengan perusahaan yang karyawannya 5000 atau diatas 10.000 orang. Jawaban saya singkat, INVESTASI, dengan strategi yang tepat biaya pengadaan pelatihan-pelatihan ini bisa dilakukan seminimal mungkin. Salah satunya untuk inilah manager itu ada . Lagi pula jika perusahaan memiliki jumlah karyawan sedemikian besar, memiliki satu unit departemen trainning merupakan hal yang wajar.
Langkah diatas sangat tergantung pada performance ditingkat Direksi dan Manager, untuk inilah mereka digaji. Yaitu mengelola semua resources / sumber daya perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan. Saya sangat yakin, dengan strategi manajemen yang tepat, konflik yang timbul di internal perusahaan lebih mengarah pada konflik yang positif, yaitu konflik yang tercipta karena keinginan dari seluruh elemen perusahaan untuk memberikan hasil yang terbaik untuk perusahaan.
KESIMPULAN
Akhir kata, konflik industrial yang terjadi antara pekerja dan pengusaha bisa diminimalkan jika Level Management ( Manager dan Direksi ) mengelola perusahaan dengan strategi yang tepat.
Tentunya tida semua case masalah industrial antara buruh dan pengusaha yang terkait dengan persoalan penggajian memiliki pola yang sama dengan ulasan saya diatas, ada juga beberapa case yang di picu oleh konflik eksternal perusahaan seprti keamanan regional, dan stabilitas politik lokal, seperti di Freeport, tentunya memerlukan campur tangan pihak ketiga seperti pemerintah.
Semoga Artikel ini bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar